Debat publik tahap pertama telah selesai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Prov. Maluku sudah melaksanakan salah satu tahapan dalam menyukseskan Pilkada yang damai meskipun dalam praktiknya debat publik tak seperti yang diharapkan oleh masyarakat, debat yang sejatinya akan melahirkan ide-ide dan gagasan cemerlang untuk Maluku 5 tahun kedepan, justru terlihat sebagai “debat pasar” arena debat di nodai dengan “black campign” dibandingkan “white campign”.
Oleh: Achmad Dwi Setyo Prayudhi Linggo Djiwo
Antropolog Feminis, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon, Presenter KOMPAS TV, Wakil Ketua Bidang Publikasi dan Penggalangan Opini DPD KNPI Prov. Maluku.
JIKA dilihat dari latar belakang profesi, para kandidat telah menunjukkan warna-warni sebagai seorang petarung, yang terdiri dari unsur birokrasi, polri, politisi, dan pengusaha. Latar belakang inilah setidaknya mewakili khas dari stratifikasi sosial di masyarakat Maluku yang sangat heterogen. Meskipun minim keikutsertaan perempuan di pilgub Maluku, what’s going on mother??.
Tawaran program dalam arena debat menjadi pemanis bibir dan daya magis untuk mempengaruhi para pemilih, bermacam-macam program yang diperlihatkan dan dipertaruhkan melalui visi dan misi, mulai dari visi yang “jelas” hingga misi yang “tak jelas”. Hampir semua para kandidat, berniat untuk membawa “perubahan”, namun perubahan seperti apa, ini yang masih “membingungkan”. Ibarat ke pasar, sang penjual bingung apa yang dijual, sang pembeli bingung apa yang dibeli. Jualan politik memang membingungkan, “murah dimulut mahal dipraktik” capcai dech !!!
“Jualan politik”, menjadi menarik seperti “jualan kecap”, mulai dari mensejahtrakan masyarakat miskin, pemberdayaan masyarakat, Maluku berdaya saing, Maluku inovatif, pemerintahan yang bebas KKN, pengembangan pariwisata dan memajukan kebudayaan Maluku, Maluku menuju Tol Laut, meningkatkan hasil pertanian para petani, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki infrastruktur jalan, membuat lapangan udara perintis di setiap pulau, hingga reformasi birokrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Jualan politik ala penjual kecap memang mmoii…pilihannya hanya dua ”Kecap ABC atau Kecap Sedaaap”??
Sepertinya, setiap musim pilkada masyarakat selalu diperhadapkan dengan dengan program-program yang “menjanjikan” meski hanya menjadi jimat di bibir, pada kenyataannya banyak dikemudian hari “melupakan janji” (meski tak semua kandidat seperti itu), dan bisa jadi ini merupakan strategi berkelit dengan menggunakan “pikiran air” yang dituangkan dalam bahasa Bugis naiya nawa-nawa uwae, macca manisi nataniya deceng natampu (fikiran air itu pandai berkelit, meski bukan kebaikan yang dikandung) [baca Nurul Ilmi Idrus], sulit menjumpai program-program yang rill, tepat sasaran. Semua bersifat semu, abstrak dan kadang-kala menggerutkan dahi bagi yang membacanya.
Para kandidat tak hanya perang program dalam menyakinkan para voter’s bahwa mereka “layak” untuk memimpin Maluku, namun perang tagline melalui baliho pun tak terhindarkan untuk menarik simpati masyarakat. tagline dari baliho pun bermacam-macam dengan menggunakan foto pasangan yang berekspresi tersenyum “ala Pepsodent”, untuk menunjukkan “kahangatan dan keramahan”. Tagline di baliho bervariasi diantaranya, “Santun” seolah-olah menunjukkan “berpolitik harus santun”, dan harus memilih pemimpin yang santun “teruji” serta “berpengalaman”.
“Maluku Bisa” [Maluku Baru Gubernur Baru] yang menunjukkan selama ini Maluku masih sangat “tertinggal”, dan belum bisa keluar dari move on “kemiskinan”. Peluru sang komandan, menginginkan perubahan di Maluku dengan hadirnya sosok Gubernur yang baru, tapi mungkinkah itu terjadi??. Selain itu, Ada pula ber-tagline Hebat seakan-akan berkesan dirinyalah sang calon yang “paling hebat”, dan “paling pantas” serta “paling cerdas” memimpin Maluku 5 tahun kedepan yang lain seng ada lawang !!!.
Partai politik pun tak mau kalah, seakan-akan ingin menunjukkan kehebatannya, mendukung para kandidat, koalisi dukungan dilakukan, Santun mendapatkan dukungan (4 partai), Baileo mendapatkan (9 dukungan partai), sementara Hebat tak mendapatkan partai, dan lebih memilih jalur independen.
Jika dilihat dari komposisi partai antara “Santun” dan “ Baileo” maka ini adalah pertarungan koalisi, antara koalisi “aqua gelas” melawan “aqua galon”. Tentunya tidak ada yang gratis, koalisi ini setidaknya akan melahirkan in group feeling dan in group solidarity [baca Idrus] dan mengarah pada “pendukung partai politik yang idealis” dan “pendukung partai politik yang pamrih”.
Jika sang kandidat dinyatakan menang, maka kemenangan ini adalah kemenangan bersama. Namun sebaliknya, jika kandidat kalah maka kekalahan ini adalah kekalahan sang kandidat, partai politik tidak mencampuri. Cuci tangan nih yeah, parpol gitu lho !!!. Remember that, partai gemuk tak selamanya sehat.
Sebagai pemilih kita harus mendalami track and record setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pahami dan pelajari visi dan misi mereka, sebab mempelajari track and record merupakan hal yang penting dan utama, untuk menentukan layak-tidaknya seorang kandidat menjadi pemimpin di Maluku 5 tahun kedepan. Sebab, menjadi pemimpin haruslah berjiwa jujur, pemberani, tegas, dan cerdas, dalam bingkai normatif saling menghormati, saling memuji, dan saling mengingatkan.
Jika merujuk pepatah Bugis: ‘paddioloiwi niya madeceng, ritempaduppana iyamanenna gaue (dahuluilah dengan niat yang baik sebelum terlaksananya segala perbuatan) artinya perbuatan haruslah di dahului dengan niat yang baik dan tulus dalam melakukan sesuatu. Berniat baik saja sudah mendapatkan penilaian tersendiri apalagi jika diimplementasikan melalui tindakan yang nyata, karena pemimpin idealnya harus “rela berkorban” bukan “rela mengorbankan” orang lain untuk kepentingan yang menyesatkan nan merugikan individu atau kelompok. so this is serba-serbi kandidat, memang membingungkan TITIK !!! (achmaddwisetyoprayudhi@gmail.com). (*)



